Siberbanten.id – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengumumkan bahwa musim hujan 2025 akan datang lebih cepat dari biasanya, yang memicu perhatian publik mengenai dampaknya terhadap berbagai sektor kehidupan.
Berdasarkan pemantauan terbaru, beberapa wilayah Indonesia telah merasakan awal musim hujan sejak Agustus, dengan perkiraan hujan meluas ke seluruh negeri antara September hingga November 2025.
Musim Hujan Lebih Cepat dari Perkiraan
Menurut Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, musim hujan tahun ini lebih awal dibandingkan dengan rata-rata klimatologis 1991–2020.
Hal ini tentu mempengaruhi banyak sektor, mulai dari pertanian hingga kesehatan, yang memerlukan perhatian lebih.
“Dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, musim hujan kali ini mengalami percepatan yang signifikan di banyak wilayah,” jelasnya dalam konferensi pers pada Jumat (12/9/2025).
Wilayah yang Terkena Dampak Musim Hujan 2025
BMKG menyebutkan bahwa 79 Zona Musim (ZOM) yang meliputi wilayah Sumatera, Kalimantan Selatan, dan sebagian kecil Papua, sudah memasuki musim hujan pada September 2025.
Sementara itu, pada bulan Oktober, 149 ZOM diperkirakan akan terhujani, mencakup wilayah Jawa, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, dan Papua Tengah.
Sedangkan pada November, 105 ZOM lainnya, termasuk NTT, Maluku, dan sebagian Papua Barat, akan mengalami hujan.
Puncak Hujan yang Mempengaruhi Berbagai Sektor
BMKG juga memprediksi musim hujan akan berlangsung hingga April 2026, dengan puncak hujan yang bervariasi di beberapa wilayah.
Misalnya, di Sumatera dan Kalimantan, puncak hujan diperkirakan terjadi pada November–Desember 2025, sementara di Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua, puncak hujan akan berlangsung antara Januari–Februari 2026.
Sifat Curah Hujan dan Risiko Bencana
Sementara mayoritas wilayah diperkirakan akan mengalami curah hujan normal, sekitar 27,6% wilayah lainnya berisiko alami hujan lebih deras dari biasanya.
Beberapa daerah yang perlu waspada antara lain Jawa Barat, sebagian Jawa Tengah, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
BMKG juga mengingatkan adanya potensi bencana alam seperti banjir, longsor, dan angin kencang yang bisa terjadi di daerah-daerah dengan curah hujan tinggi.
Faktor yang Mempengaruhi Musim Hujan Lebih Awal
Menurut Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Ardhasena Sopaheluwakan, ada beberapa faktor yang menyebabkan musim hujan datang lebih cepat.
Di antaranya adalah kondisi ENSO netral yang tidak dipengaruhi oleh fenomena Samudra Pasifik serta Indeks Dipole Samudra Hindia (IOD) negatif yang meningkatkan uap air dari Samudra Hindia.
Selain itu, suhu laut Indonesia yang lebih hangat dari normal juga memperkuat pembentukan awan hujan.
Dampak Positif untuk Pertanian
Di tengah cuaca ekstrem, BMKG melihat ada sisi positif dari musim hujan yang datang lebih awal. Menurut Dwikorita, ini dapat dimanfaatkan untuk:
- Menyesuaikan kalender tanam agar lebih awal.
- Mengoptimalkan pengelolaan air irigasi dan waduk.
- Mengendalikan hama dan penyakit yang berkembang akibat kelembaban tinggi.
BMKG juga mengajak pemangku kebijakan untuk menggunakan informasi iklim ini dalam pengambilan keputusan sektor pertanian, energi, perkebunan, dan kebencanaan.
Ancaman Kesehatan: Penyakit Tropis Meningkat
Selain dampak pada sektor pertanian, musim hujan juga dapat meningkatkan risiko penyebaran penyakit tropis.
Kelembaban tinggi membuka peluang berkembangnya penyakit seperti Demam Berdarah Dengue (DBD).
BMKG mengimbau masyarakat untuk tetap waspada dengan melakukan pencegahan, seperti rutin memberantas sarang nyamuk, melakukan fogging, dan menjaga kebersihan lingkungan.
Periode Desember 2025 hingga Januari 2026 diperkirakan akan menjadi puncak penyebaran penyakit tropis tersebut.
Mitigasi dan Tindakan Pencegahan Dini
BMKG juga memberikan rekomendasi agar pemerintah daerah segera membersihkan saluran air dan menyiapkan rencana evakuasi untuk mengantisipasi potensi bencana.
Sektor pertanian dan energi diharapkan menyesuaikan jadwal operasionalnya, sedangkan warga diminta untuk lebih tanggap terhadap peringatan dini cuaca ekstrem.
BMKG pun kini lebih memudahkan akses informasi iklim melalui aplikasi dan media sosial, agar semua pihak dapat memanfaatkan informasi ini untuk perencanaan yang lebih baik.


